Tugas Kelompok: Dosen Pengampu:
Bimbingan Konseling Keluarga Muhammad Fahli Zatra Hadi, S.SOS.I
PROBLEM DAN
PENDIDIKAN DALAM KELUARGA (Pendidikan dalam Keluarga dan Perkembangan
Intelegensi Bayi dan Anak)
Oleh: Kelompok X
Endang Astuti
Misrah
M.Syukri Bin Sazulkifli
BIMBINGAN KONSELING ISLAM
FAKULTAS DAKWAH KOMUNIKASI
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SULTAN
SYARIF KASIM RIAU
PEKANBARU
2014
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Keluarga merupakan sebuah sistem yang terdiri dari berbagai perilaku
social yang berbeda yang dimiliki oleh setiap individu yang berada di dalam
sebuah keluarga tersebut. Pengertian keluarga yang diharapkan secara sosial
antropologis adalah lembaga atau institusi sosial yang mampu menumbuhkan
pemenuhan tuntuta dan kebutuhan hidup manusia secara fisik, sosial, mental dan
moral, sehingga diantara anggota keluarga lahir keterkaitan rasa dan sikap
dalam ikatan sosial dan psikologis di dalam tatanan norma dan sistem nilai
sebagai manusia yang bertanggungjawab dan di pertanggungjawabkan secara hukum
apapun.
Intelegensi anak yang sedang mengalami perkembanngan struktur dan content
intelegensinya berubah untuk berkembang dimana fungsi dan adaptasi akan
tersusun sedemikian rupa, sehingga melahirkan rangkaian perkembangan, dan
masing-masing mempunyai struktur psikologis khusus yang menentukan kecakapan
pikiran anak.
B.
Rumusan Masalah
- Bagaimana pentingnya pendidikan dalam keluarga?
-
Bagaimana pekembangan intelegensi pada bayi dan anak?
C.
Tujuan
Adapun tujuan dari pembahasan
makalah ini adalah agar mahasiswa mengetahui pendidikan dalan keluarga dan
intelegensi anak dan bayi.
BAB II
PEMBAHASAN
PROBLEM DAN PENDIDIKAN DALAM KELUARGA
A. Pendidikan Dalam Keluarga
Pendidikan adalah proses pengubahan sikap dan tingkah laku seseorang
atau kelompok orang dalam usaha mendewasakan manusia melalui upaya pengajaran
dan pelatihan. Pendidikan keluarga
merupakan unit fundamental yang bertanggung jawab dan harus melayani kebutuhan
fisik dan fsikis anak selama mereka dalam pertumbuhan menuju kedewasaan.
Tanggung jawab dimaksud terutama berada dipundak orang tua, sehingga ia
dituntut dapat benar-benar berfungsi sebagai pendidik. Karena ternyata salah
satu faktor dominan yang mempengaruhi pola perilaku anak dalam proses
pendidikannya adalah lingkungan keluarga. Dalam pendidikan keluarga, pendidikan
mulai tumbuh dengan instingtif berupa kasih sayang, saling memberi, nilai
pengertian, dan hubungan timbal balik yang harmonis antara orang tua dengan
ank-anak. Kemudian pendidikan yang diberikan dalam keluarga juga melalui
bimbingan dan arahan.
Semua hal diatas merupakan tanggung jawab orang tua terhadap anak.
Dalam keluarga, anak mendapat perawatan dan bimbingan dalam rangka pembentukan
sikap dan kepribadiannya. Yang perlu diperhatikan adalah anak merupakan peniru
yang baik. Mereka melihat bagaimana lingkungan sekitarnya bersikap, dan
kemudian tanpa sadar menirunya. Oleh karena itu, penanaman nilai positif sejak
dini sangat diperlukan. Secara praktis, pendidikan dalam keluarga tidak
memiliki suasana seperti pendidikan disekolah. Kita tidak akan menemukan
ruangan yang dipenuhi fasilitas seperti bangku dan meja, papan tulis, dan media
pembelajaran lainnya. Kita juga tidak akan menemukan oknum pendidik yang
menggunakan uniform tertentu, Yang biasa dipanggil degan sebutan guru atau
dosen.
Pendidikan dalam keluarga memiliki ciri khas tersendiri. Hal ini
dimungkinkan karena dalam pendidikan keluarga bukanlah pendidikan yang
“diorganisasikan” melainkan pendidikan yang “organik”, yang didasarkan pada
spontanitas, intuisi, pembiasaan dan improvisasi. Meski demikian, dalam
pendidikan keluarga kita menemukan oknum yang fungsinya tidak jauh berbeda
dengan guru di sekolah atau dosen di perguruan tinggi yaitu mentransfer
pengetahuan. Oknum yang dimaksud disini adalah orang tua. Dalam konteks
pendidikan dalam keluarga orang tua bertugas mentransfer pengetahuan tetapi
bukan pengetahuan tentang mata pelajaran tertentu, melainkan pengetahuan
tentang kehidupan. Dengan kata lain, pendidikan dalam keluarga merupakan segala
usaha yang dilakukan oleh orang tua dengan pembiasaan dan improvisasi untuk
membantu perkembangan pribadi keluarga yang disebut anak.
·
Fungsi keluarga
Ada beberapa fungsi keluarga terhadap
pendidikan anak yaitu:
1.
Persekutuan primer, yaitu relasi antara anggota keluarga yang bersifat mendasar dan eklusif
karena faktor ikatan biologis, ikatan hukum dan karena adanya kebersamaan dalam
mempertahankan hidup. Sebagai kelompok primer, keluarga berperan menciptakan
persahabatan, kecintaan, rasa aman dan hubungan interpersonal yang bersifat
kontinu. Semua ini meupakan fondasi perkembangan kepribadian anak. Sangat tidak
mungkin anak bersahabat dengan orang lain yang bukan anggota keluarganya,
apabila ia tidak mendapat pendidikan dalam keluarga tentang persahabatan.
Demikian pula apabila kepada anak tidak ditanamkan rasa aman ke dalam diri
anak, ia cenderung berinteraksipenuh kecurigaan terhadap orang yang bukan
anggota keluarganya. Hubungan antar pribadi yang continue juga perlu diajarkan kepada anak supaya ia mampu menjaga
relasi interpersonalnya dengan orang-orang di luar keluarga yang ditemuinya.
Disamping itu, sebagai kelompok primer, keluarga memberikan kesempatan secara
unik kepada anggotanya untuk menyadari dan memperkuat nilai kepribadian. Hanya
di dalam keluarga seorang individu secara bebas mengekspresikan kepribadiannya.
Dan kesempatan ini sangat penting sebab dari sinilah individu membangun harga
diri. Masih tentang keluarga sebagai persekutuan utama/primer, hubungan
anggota-anggota keluarga dan dunia luar, diakui atau tidak, diatur oleh
keluarga. Menyangkut hal ini, corak keluarga dapat dibedakan menjadi dua,
yaitu:
a.
Keluarga terbuka, yaitu keluarga
yang mendorong anggota keluarga membangun hubungan dunia luar. Persahabatan,
kasih sayang, dan hubungan antar pribadi dapat dilakukan dengan semua orang.
b.
Keluarga tertutup, merupakan
keluarga yang menutup diri terhadap hubungan dengan dunia luar. Hubungan kasih
sayang, persahabatan, dan hubungan lainnya hanya dilakukan dengan keluarga
anggota.
2.
Sumber kasih sayang
(affection) atas dasar ikatan biologis atau hukum secara bertanggungjawab. Umumnya, sebuah kelurga terbentuk karena jalinan cinata kasih antara
ayah dan ibu. Kenyataan ini sudah lebih dari cukup untuk menyatakan bahwa
keluarga merupakan sumber kasih sayang. Maksudnya, di dalam keluargalah seorang
anak merasakan kasih sayang dan belajar bagaimana mengekspresikan/ menyatakan
perasaan cinta kepada orang lain, bahkan bagaimana mencintai orang lain.
Apabila keluarga gagal menjadi sumber kasih sayang, anak pun akan mengalami
kegagalan dalam hal mengasihi orang lain. Namun sebaliknya, apabila keluarga
mampu memenuhi kebutuhan anak akan kasih, anak tak akan mencari kasih sayang di
luar rumah yang bisa saja berpontensi menjerumuskan dirinya ke hal-hal yang
tidak diinginkan. Disamping itu, anak juga mampu menyayangi orang lain dengan
cinta dan kasih yang diperolehnya dalam keluarga.
3.
Institusi pembentukan anutan,
keyakinan, agama, nilai-nilai budaya dan moralitas. Tak bisa dipungkiri, keluarga merupakan institusi pertama yang hampir
seluruh pergerakannya ditiru oleh anak. Memang, pada dasarnya, kelurga
merupakan sumber panutan bagi anak. Dari keluargalah anak belajar tentang
keyakinan, agama, nilai-nilai budaya dan moralitas.
4.
Wadah pemenuhan kebutuhan. Baik material maupun spritual institusi yang paling bertanggungjawab
terhadap kebutuhab jasmani dan rohani anak bukanlah institusi pemerintahan,
bukan pula institusi swasta, melainkan institusi keluarga. Itu sebabnya,
apabila ada anak yang kebutuhannya tidak tercukupi, maka pihak yang paling
bertanggungjawab terhadap situasi demikian adalah keluarga. Tentu ada
pengecualian terhadap situasi-situasi tertentu.
·
Pentingnya Pendidikan dalam Keluarga
Pendidikan dalam
keluarga penting, sama pentingnya dengan pendidikan di sekolah. Pendidikan
dalam keluarga adalah tanggungjawab orang tua, dengan peran ibu lebih banyak.
Karena ayah biasanya pergi bekerja dan kurang ada dirumah, maka hubungan ibu
dan anak lebih menonjol. Meskipun peran ayah juga amat penting, terutama
sebagai tauladan dan pemberi pedoman. Kalau anak sudah mendekat dewasa peran
ayah sebagai penasehat juga penting, karena dapat memberikan aspek berbeda dari
yang diberikan ibu. Oleh karena hubungan ayah dan anak terbatas waktunya,
terutama dihari kerja, maka ayah harus mengusahakan agar pada hari libur
memberi waktu lebih banyak untuk bersama dengan anak.
Ada yang berpendapat bahwa
sebaiknya sejak permulaan diberikan kebebasan maksimal kepada anak. Dalam hal
ini faktor pendidikan kepada anak sudah berakhir sebelum anak itu dewasa. Dalam
kenyataan terbukti bahwa keluarga yang menerapkan pendidikan keluarga dapat
menghasilkan pribadi-pribadi anak yang menjadi baik. Pendidikan dalam keluarga dapat memberikan
pengaruh besar terhadap karakter anak. Sebab itu kunci utama untuk menjadikan
pribadi anak menjadi baik yang terutama terletak dalam pendidikan dalam
keluarga.
B. Perkembangan Intelegensi Bayi
dan Anak
Dari sekian banyak devinisi tentang intelegensi yang dirumuskan oleh
para ahli, secara umum dapat dimasukkan kedalam salah satu dari tiga
klasifikasi berikut: (1) kemampuan menyesuaikan diri dengan lingkungan,
beradaptasi dengan situasi-situasi baru atau menghadapi situasi-situasi yang
sangat beragan, (2) kemampuan untuk belajar atau kapasitas untuk menerima
pendidikan, dan (3) kemampuan untuk berfikir secara abstrak, menggunakan
konsep-konsep abstrak dan menggunakan secara luas simbol-simbol dan
konsep-konsep (Phares,1988).[1]
Masyarakat umum mengenal intelegensi sebagai istilah menggambarkan kecerdasan,
kepintaran, ataupun kemampuan untuk memecahkan problem yang dihadapi. Gambaran
anak yang beritelegensi tinggi adalah gambaran mengenai siswa yang pintar,
siswa yang selalu naik kelas dengan nilai baik, atau siswa yang jempolan
dikelasnya. Bahkan gambaran ini meluas pada citra fisik, yaitu citra anak yang
wajahnya bersih, berpakaian rapi, matanya bersinar, atau berkacamata.
Sebaliknya, gambaran anak yang berintelegensi rendah membawa citra seseorang
yang lamban berfikir, sulit mengerti, prestasi belajarnya rendah, dan mulut
lebih banyak menganga disertai tatapan mata bingung. Pandangan awam sebagaimana
digambarkan diatas, walaupun tidak memberikan arti yang jelas tentang intelegensi
namun pada umumnya tidak berbeda jauh dari makna intelegensi sebagaimana yang
dimaksudkan oleh para ahli. Apapun definisinya, makna intelegensi memang
mendeskripsikan kepintaran dan kebodohan.[2]
Dalam pembahasan tentang perkembangan kognitif anak usia sekolah,
masalah kecerdasan atau intelegensi mendapat banyak perhatian dikalangan
psikolog. Hal ini adalah karena intelegensi telah dianggap sebagai suatu norma
yang yang menentukan perkembangan kemampuan dan pencapaian optimal hasil
belajar anak di sekolah. Dengan mengetahui intelegensinya, seorang anak dapat
dikategorikan sebagai anak yang pandai/cerdas (genius), sedang, atau bodoh
(idiot).[3]
a.
Perkembangan intelegensi bayi
Sejak tahun pertama
kehidupan anak, fungsi intelegensi sudah mulai nampak dalam tingkah lakunya,
misalnya tingkah laku motorik (berjalan) pada anak yang cerdas dimulai pada
usia 12 bulan, anak yang sedang pada usia15 bulan, yang moron 22 bulan, dan
yang idiot 30 bulan. Ada lima supperiode sensori-motor yaitu:
-
Modifikasi (pelatihan
refleks-refleks), usia 0-1 bulan.
-
Pengembangan skema (reaksi
pengulangan pertama = primary circular reaction), usia 1-4 bulan
-
Reaksi pengulangan kedua (secondly
circular reaction), 4-8 bulan.
-
Koordinasi reaksi-reaksi (skema
skunder atau mengembangkan tingkah laku intensional), 8-12 bulan.
-
Reaksi pengulangan ketiga
(eksplorasi), 12-18 bulan.[4]
b.
Perkembangan intelegensi anak
Intelegensi pada
setiap anak tidak sama. Untuk mengukur perbedaan-perbedaan kemampuan individu
tersebut, para psikolog telah mengembangkan sejumlah tes intelegensi. Dalam hal
ini Alfret Binet (1857-1911), seorang dokter dan psikolog Perancis, dipandang
secara luas sebagai orang yang paling berjasa dalam mempelopori pengembangan
tes intelegensi ini.
Tes intelegensi yang
dirancang Binet berangkat dari konsep usia mental (Mental Age- MA) yang dikembangkannya. Binet menganggap anak-anak
yang terbelakang secara mental akan bertingkah dan berkinerja seperti anak-anak
normal yang berusia lebih muda. Ia mengembangkan norma-norma intelegensi dengan
menguji 50 orang anak-anak dari usia 3 hingga 11 tahun yang tidak terbelakang
secara mental. Anak-anak yang diduga terbelakang secara mental juga diuji, dan
performa mereka dibandingkan dengan anak-anak yang usia kronologisnya sama
didalam sampel yang normal. Perbedaan antara usia mental (MA) dengan usia-usia
kronologis (CA)— usia sejak lahir--inilah yang digunakan sebagai ukuran
intelegensi. Anak yang cerdas memiliki MA diatas CA, sedangkan anak yang bodoh
memiliki MA dibawah CA
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Pendidikan dalam keluarga penting, sama pentingnya dengan pendidikan di
sekolah. Pendidikan dalam keluarga memiliki ciri khas tersendiri. Hal ini
dimungkinkan karena dalam pendidikan keluarga bukanlah pendidikan yang “diorganisasikan”
melainkan pendidikan yang “organik”, yang didasarkan pada spontanitas, intuisi,
pembiasaan dan improvisasi. Meski demikian, dalam pendidikan keluarga kita
menemukan oknum yang fungsinya tidak jauh berbeda dengan guru di sekolah atau
dosen di perguruan tinggi yaitu mentransfer pengetahuan. Oknum yang dimaksud
disini adalah orang tua. Dalam konteks pendidikan dalam keluarga orang tua
bertugas mentransfer pengetahuan tetapi bukan pengetahuan tentang mata
pelajaran tertentu, melainkan pengetahuan tentang kehidupan. Dengan kata lain,
pendidikan dalam keluarga merupakan segala usaha yang dilakukan oleh orang tua
dengan pembiasaan dan improvisasi untuk membantu perkembangan pribadi keluarga
yang disebut anak.
B.
Saran
Mengingat begitu pentingnya peran keluarga terhadap pendidikan anak
dalam keluarga, maka diharapkan kepada orang tua dapat mendidik anaknya dengan
baik. Memberikan teladan yang bisa ditiru anak. Hal ini agar terciptanya
hubungan yang baik antara orang tua dan anak serta keluarga yang harmonis.
DAFTAR PUSTAKA
Azwar, Saufuddin. Psikologi Intelegensi. Yogyakarta: Pustaka Pelajar .2001.
Desmita. Psikologi
Perkembangan. Bandung: Remaja Rosdakarya. 2012.
Elfi Yuliani Rohmah. Psikologi Perkembangan. Yogyakarta: Teras, 2005
Tidak ada komentar:
Posting Komentar