Minggu, 12 Oktober 2014

Kelompok 10


Tugas Kelompok:                                                                                                Dosen Pengampu:
Bimbingan Konseling Keluarga                                                        Muhammad Fahli Zatra Hadi, S.SOS.I

PROBLEM DAN PENDIDIKAN DALAM KELUARGA (Pendidikan dalam Keluarga dan Perkembangan Intelegensi Bayi dan Anak)




Oleh: Kelompok X
Endang Astuti
Misrah
M.Syukri Bin Sazulkifli

BIMBINGAN KONSELING ISLAM
FAKULTAS DAKWAH KOMUNIKASI
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SULTAN SYARIF KASIM RIAU
PEKANBARU
2014


BAB I

PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang

Keluarga merupakan sebuah sistem yang terdiri dari berbagai perilaku social yang berbeda yang dimiliki oleh setiap individu yang berada di dalam sebuah keluarga tersebut. Pengertian keluarga yang diharapkan secara sosial antropologis adalah lembaga atau institusi sosial yang mampu menumbuhkan pemenuhan tuntuta dan kebutuhan hidup manusia secara fisik, sosial, mental dan moral, sehingga diantara anggota keluarga lahir keterkaitan rasa dan sikap dalam ikatan sosial dan psikologis di dalam tatanan norma dan sistem nilai sebagai manusia yang bertanggungjawab dan di pertanggungjawabkan secara hukum apapun.
Intelegensi anak yang sedang mengalami perkembanngan struktur dan content intelegensinya berubah untuk berkembang dimana fungsi dan adaptasi akan tersusun sedemikian rupa, sehingga melahirkan rangkaian perkembangan, dan masing-masing mempunyai struktur psikologis khusus yang menentukan kecakapan pikiran anak.

B.     Rumusan Masalah

-  Bagaimana pentingnya pendidikan dalam keluarga?
- Bagaimana pekembangan intelegensi pada bayi dan anak?

C.     Tujuan

Adapun tujuan dari pembahasan makalah ini adalah agar mahasiswa mengetahui pendidikan dalan keluarga dan intelegensi anak dan bayi.


BAB II
PEMBAHASAN
PROBLEM DAN PENDIDIKAN DALAM KELUARGA

A.    Pendidikan Dalam Keluarga

Pendidikan adalah proses pengubahan sikap dan tingkah laku seseorang atau kelompok orang dalam usaha mendewasakan manusia melalui upaya pengajaran dan pelatihan.  Pendidikan keluarga merupakan unit fundamental yang bertanggung jawab dan harus melayani kebutuhan fisik dan fsikis anak selama mereka dalam pertumbuhan menuju kedewasaan. Tanggung jawab dimaksud terutama berada dipundak orang tua, sehingga ia dituntut dapat benar-benar berfungsi sebagai pendidik. Karena ternyata salah satu faktor dominan yang mempengaruhi pola perilaku anak dalam proses pendidikannya adalah lingkungan keluarga. Dalam pendidikan keluarga, pendidikan mulai tumbuh dengan instingtif berupa kasih sayang, saling memberi, nilai pengertian, dan hubungan timbal balik yang harmonis antara orang tua dengan ank-anak. Kemudian pendidikan yang diberikan dalam keluarga juga melalui bimbingan dan arahan.
Semua hal diatas merupakan tanggung jawab orang tua terhadap anak. Dalam keluarga, anak mendapat perawatan dan bimbingan dalam rangka pembentukan sikap dan kepribadiannya. Yang perlu diperhatikan adalah anak merupakan peniru yang baik. Mereka melihat bagaimana lingkungan sekitarnya bersikap, dan kemudian tanpa sadar menirunya. Oleh karena itu, penanaman nilai positif sejak dini sangat diperlukan. Secara praktis, pendidikan dalam keluarga tidak memiliki suasana seperti pendidikan disekolah. Kita tidak akan menemukan ruangan yang dipenuhi fasilitas seperti bangku dan meja, papan tulis, dan media pembelajaran lainnya. Kita juga tidak akan menemukan oknum pendidik yang menggunakan uniform tertentu, Yang biasa dipanggil degan sebutan guru atau dosen.
Pendidikan dalam keluarga memiliki ciri khas tersendiri. Hal ini dimungkinkan karena dalam pendidikan keluarga bukanlah pendidikan yang “diorganisasikan” melainkan pendidikan yang “organik”, yang didasarkan pada spontanitas, intuisi, pembiasaan dan improvisasi. Meski demikian, dalam pendidikan keluarga kita menemukan oknum yang fungsinya tidak jauh berbeda dengan guru di sekolah atau dosen di perguruan tinggi yaitu mentransfer pengetahuan. Oknum yang dimaksud disini adalah orang tua. Dalam konteks pendidikan dalam keluarga orang tua bertugas mentransfer pengetahuan tetapi bukan pengetahuan tentang mata pelajaran tertentu, melainkan pengetahuan tentang kehidupan. Dengan kata lain, pendidikan dalam keluarga merupakan segala usaha yang dilakukan oleh orang tua dengan pembiasaan dan improvisasi untuk membantu perkembangan pribadi keluarga yang disebut anak.

·         Fungsi keluarga
Ada beberapa fungsi keluarga terhadap pendidikan anak yaitu:
1.      Persekutuan primer, yaitu relasi antara anggota keluarga yang bersifat mendasar dan eklusif karena faktor ikatan biologis, ikatan hukum dan karena adanya kebersamaan dalam mempertahankan hidup. Sebagai kelompok primer, keluarga berperan menciptakan persahabatan, kecintaan, rasa aman dan hubungan interpersonal yang bersifat kontinu. Semua ini meupakan fondasi perkembangan kepribadian anak. Sangat tidak mungkin anak bersahabat dengan orang lain yang bukan anggota keluarganya, apabila ia tidak mendapat pendidikan dalam keluarga tentang persahabatan. Demikian pula apabila kepada anak tidak ditanamkan rasa aman ke dalam diri anak, ia cenderung berinteraksipenuh kecurigaan terhadap orang yang bukan anggota keluarganya. Hubungan antar pribadi yang continue juga perlu diajarkan kepada anak supaya ia mampu menjaga relasi interpersonalnya dengan orang-orang di luar keluarga yang ditemuinya. Disamping itu, sebagai kelompok primer, keluarga memberikan kesempatan secara unik kepada anggotanya untuk menyadari dan memperkuat nilai kepribadian. Hanya di dalam keluarga seorang individu secara bebas mengekspresikan kepribadiannya. Dan kesempatan ini sangat penting sebab dari sinilah individu membangun harga diri. Masih tentang keluarga sebagai persekutuan utama/primer, hubungan anggota-anggota keluarga dan dunia luar, diakui atau tidak, diatur oleh keluarga. Menyangkut hal ini, corak keluarga dapat dibedakan menjadi dua, yaitu:
a.       Keluarga terbuka, yaitu keluarga yang mendorong anggota keluarga membangun hubungan dunia luar. Persahabatan, kasih sayang, dan hubungan antar pribadi dapat dilakukan dengan semua orang.
b.      Keluarga tertutup, merupakan keluarga yang menutup diri terhadap hubungan dengan dunia luar. Hubungan kasih sayang, persahabatan, dan hubungan lainnya hanya dilakukan dengan keluarga anggota.

2.      Sumber kasih sayang (affection) atas dasar ikatan biologis atau hukum secara bertanggungjawab. Umumnya, sebuah kelurga terbentuk karena jalinan cinata kasih antara ayah dan ibu. Kenyataan ini sudah lebih dari cukup untuk menyatakan bahwa keluarga merupakan sumber kasih sayang. Maksudnya, di dalam keluargalah seorang anak merasakan kasih sayang dan belajar bagaimana mengekspresikan/ menyatakan perasaan cinta kepada orang lain, bahkan bagaimana mencintai orang lain. Apabila keluarga gagal menjadi sumber kasih sayang, anak pun akan mengalami kegagalan dalam hal mengasihi orang lain. Namun sebaliknya, apabila keluarga mampu memenuhi kebutuhan anak akan kasih, anak tak akan mencari kasih sayang di luar rumah yang bisa saja berpontensi menjerumuskan dirinya ke hal-hal yang tidak diinginkan. Disamping itu, anak juga mampu menyayangi orang lain dengan cinta dan kasih yang diperolehnya dalam keluarga.

3.      Institusi pembentukan anutan, keyakinan, agama, nilai-nilai budaya dan moralitas. Tak bisa dipungkiri, keluarga merupakan institusi pertama yang hampir seluruh pergerakannya ditiru oleh anak. Memang, pada dasarnya, kelurga merupakan sumber panutan bagi anak. Dari keluargalah anak belajar tentang keyakinan, agama, nilai-nilai budaya dan moralitas.


4.      Wadah pemenuhan kebutuhan. Baik material maupun spritual institusi yang paling bertanggungjawab terhadap kebutuhab jasmani dan rohani anak bukanlah institusi pemerintahan, bukan pula institusi swasta, melainkan institusi keluarga. Itu sebabnya, apabila ada anak yang kebutuhannya tidak tercukupi, maka pihak yang paling bertanggungjawab terhadap situasi demikian adalah keluarga. Tentu ada pengecualian terhadap situasi-situasi tertentu.

·         Pentingnya Pendidikan dalam Keluarga
Pendidikan dalam keluarga penting, sama pentingnya dengan pendidikan di sekolah. Pendidikan dalam keluarga adalah tanggungjawab orang tua, dengan peran ibu lebih banyak. Karena ayah biasanya pergi bekerja dan kurang ada dirumah, maka hubungan ibu dan anak lebih menonjol. Meskipun peran ayah juga amat penting, terutama sebagai tauladan dan pemberi pedoman. Kalau anak sudah mendekat dewasa peran ayah sebagai penasehat juga penting, karena dapat memberikan aspek berbeda dari yang diberikan ibu. Oleh karena hubungan ayah dan anak terbatas waktunya, terutama dihari kerja, maka ayah harus mengusahakan agar pada hari libur memberi waktu lebih banyak untuk bersama dengan anak.
Ada yang berpendapat bahwa sebaiknya sejak permulaan diberikan kebebasan maksimal kepada anak. Dalam hal ini faktor pendidikan kepada anak sudah berakhir sebelum anak itu dewasa. Dalam kenyataan terbukti bahwa keluarga yang menerapkan pendidikan keluarga dapat menghasilkan pribadi-pribadi anak yang menjadi baik.  Pendidikan dalam keluarga dapat memberikan pengaruh besar terhadap karakter anak. Sebab itu kunci utama untuk menjadikan pribadi anak menjadi baik yang terutama terletak dalam pendidikan dalam keluarga.

B.     Perkembangan Intelegensi Bayi dan Anak

Dari sekian banyak devinisi tentang intelegensi yang dirumuskan oleh para ahli, secara umum dapat dimasukkan kedalam salah satu dari tiga klasifikasi berikut: (1) kemampuan menyesuaikan diri dengan lingkungan, beradaptasi dengan situasi-situasi baru atau menghadapi situasi-situasi yang sangat beragan, (2) kemampuan untuk belajar atau kapasitas untuk menerima pendidikan, dan (3) kemampuan untuk berfikir secara abstrak, menggunakan konsep-konsep abstrak dan menggunakan secara luas simbol-simbol dan konsep-konsep (Phares,1988).[1] Masyarakat umum mengenal intelegensi sebagai istilah menggambarkan kecerdasan, kepintaran, ataupun kemampuan untuk memecahkan problem yang dihadapi. Gambaran anak yang beritelegensi tinggi adalah gambaran mengenai siswa yang pintar, siswa yang selalu naik kelas dengan nilai baik, atau siswa yang jempolan dikelasnya. Bahkan gambaran ini meluas pada citra fisik, yaitu citra anak yang wajahnya bersih, berpakaian rapi, matanya bersinar, atau berkacamata. Sebaliknya, gambaran anak yang berintelegensi rendah membawa citra seseorang yang lamban berfikir, sulit mengerti, prestasi belajarnya rendah, dan mulut lebih banyak menganga disertai tatapan mata bingung. Pandangan awam sebagaimana digambarkan diatas, walaupun tidak memberikan arti yang jelas tentang intelegensi namun pada umumnya tidak berbeda jauh dari makna intelegensi sebagaimana yang dimaksudkan oleh para ahli. Apapun definisinya, makna intelegensi memang mendeskripsikan kepintaran dan kebodohan.[2]
Dalam pembahasan tentang perkembangan kognitif anak usia sekolah, masalah kecerdasan atau intelegensi mendapat banyak perhatian dikalangan psikolog. Hal ini adalah karena intelegensi telah dianggap sebagai suatu norma yang yang menentukan perkembangan kemampuan dan pencapaian optimal hasil belajar anak di sekolah. Dengan mengetahui intelegensinya, seorang anak dapat dikategorikan sebagai anak yang pandai/cerdas (genius), sedang, atau bodoh (idiot).[3]

a.      Perkembangan intelegensi bayi

Sejak tahun pertama kehidupan anak, fungsi intelegensi sudah mulai nampak dalam tingkah lakunya, misalnya tingkah laku motorik (berjalan) pada anak yang cerdas dimulai pada usia 12 bulan, anak yang sedang pada usia15 bulan, yang moron 22 bulan, dan yang idiot 30 bulan. Ada lima supperiode sensori-motor yaitu:
-          Modifikasi (pelatihan refleks-refleks), usia 0-1 bulan.
-          Pengembangan skema (reaksi pengulangan pertama = primary circular reaction), usia 1-4 bulan
-          Reaksi pengulangan kedua (secondly circular reaction), 4-8 bulan.
-          Koordinasi reaksi-reaksi (skema skunder atau mengembangkan tingkah laku intensional), 8-12 bulan.
-          Reaksi pengulangan ketiga (eksplorasi), 12-18 bulan.[4]

b.      Perkembangan intelegensi anak

Intelegensi pada setiap anak tidak sama. Untuk mengukur perbedaan-perbedaan kemampuan individu tersebut, para psikolog telah mengembangkan sejumlah tes intelegensi. Dalam hal ini Alfret Binet (1857-1911), seorang dokter dan psikolog Perancis, dipandang secara luas sebagai orang yang paling berjasa dalam mempelopori pengembangan tes intelegensi ini.
Tes intelegensi yang dirancang Binet berangkat dari konsep usia mental (Mental Age- MA) yang dikembangkannya. Binet menganggap anak-anak yang terbelakang secara mental akan bertingkah dan berkinerja seperti anak-anak normal yang berusia lebih muda. Ia mengembangkan norma-norma intelegensi dengan menguji 50 orang anak-anak dari usia 3 hingga 11 tahun yang tidak terbelakang secara mental. Anak-anak yang diduga terbelakang secara mental juga diuji, dan performa mereka dibandingkan dengan anak-anak yang usia kronologisnya sama didalam sampel yang normal. Perbedaan antara usia mental (MA) dengan usia-usia kronologis (CA)— usia sejak lahir--inilah yang digunakan sebagai ukuran intelegensi. Anak yang cerdas memiliki MA diatas CA, sedangkan anak yang bodoh memiliki MA dibawah CA

BAB III
PENUTUP

A.                Kesimpulan

Pendidikan dalam keluarga penting, sama pentingnya dengan pendidikan di sekolah. Pendidikan dalam keluarga memiliki ciri khas tersendiri. Hal ini dimungkinkan karena dalam pendidikan keluarga bukanlah pendidikan yang “diorganisasikan” melainkan pendidikan yang “organik”, yang didasarkan pada spontanitas, intuisi, pembiasaan dan improvisasi. Meski demikian, dalam pendidikan keluarga kita menemukan oknum yang fungsinya tidak jauh berbeda dengan guru di sekolah atau dosen di perguruan tinggi yaitu mentransfer pengetahuan. Oknum yang dimaksud disini adalah orang tua. Dalam konteks pendidikan dalam keluarga orang tua bertugas mentransfer pengetahuan tetapi bukan pengetahuan tentang mata pelajaran tertentu, melainkan pengetahuan tentang kehidupan. Dengan kata lain, pendidikan dalam keluarga merupakan segala usaha yang dilakukan oleh orang tua dengan pembiasaan dan improvisasi untuk membantu perkembangan pribadi keluarga yang disebut anak.


B.                 Saran

Mengingat begitu pentingnya peran keluarga terhadap pendidikan anak dalam keluarga, maka diharapkan kepada orang tua dapat mendidik anaknya dengan baik. Memberikan teladan yang bisa ditiru anak. Hal ini agar terciptanya hubungan yang baik antara orang tua dan anak serta keluarga yang harmonis.
DAFTAR PUSTAKA

Azwar, Saufuddin. Psikologi Intelegensi. Yogyakarta: Pustaka Pelajar .2001.
Desmita. Psikologi Perkembangan. Bandung: Remaja Rosdakarya. 2012.
Elfi Yuliani Rohmah. Psikologi Perkembangan. Yogyakarta: Teras, 2005



[1] Desmita. Psikologi Perkembangan. Bandung: Remaja Rosdakarya. 2012. Hal. 163
[2] Azwar, Saufuddin. Psikologi Intelegensi. Yogyakarta: Pustaka Pelajar .2001. Hal.2
[3] Desmita. Op., Cit. Hal. 163.
[4] Elfi Yuliani Rohmah. Psikologi Perkembangan. Yogyakarta: Teras, 2005. Hal 120-123.